KANALMADIUN-Ali Fauzi Manzi, mantan teroris dan adik kandung Amrozi dan Ali Imron getol mengkampanyekan pencegahan terorisme di Indonesia. Dia sosok ramah dan humoris. dilihat sepintas, tak terkesan sama sekali dia pernah menjadi salah satu penebar teror di Indonesia. Terlihat, Ali tampak bersemangat menceritakan pengalamannya saat masih menjadi teroris pada ratusan anak muda memenuhi aula NU Center Kabupaten Madiun.
“Banyak orang tidak percaya orang Indonesia bisa membuat bom. Bahkan, keluarga saya sendiri tidak percaya adiknya ini ahli merakit bom,” ujar Ali dalam Seminar Nasional “Mengokohkan Persatuan dan Kesadaran Keberagaman untuk Menekan Gerakan Radikalisme Agama di Indonesia, digelar STAINU Kabupaten Madiun, Selasa (09/02/2016).
Ali bercerita, dia dulu pernah belajar merakit bom hingga ke Mindanau, pulau terbesar kedua di Philipina. Di sana dia diajari berbagai teknik membuat bom dan operasi perang.
“Bahkan saya bisa membuat bom hanya dari bumbu dapur,” ujar mantan anggota teroris dari kelompok Moro Islamic Liberation Front/MILF itu.
Di camp militer Ali juga diajari membuat peta, menentukan skala di peta dengan skala sebenarnya, sampai menentukan sudut lokasi. Diajarkan pula tentang senjata-senjata canggih jarak tembakannya efektif, baik itu senjata produk Amerika, maupun produk Rusia. Termasuk bagaimana menembak tidur, jongkok, berdiri dan berlari plus menembak pesawat.
Setelah ‘lulus’ dari Philipina, Ali kembali ke Indonesia dan Malaysia. Di situlah perannya sebagai pelaku teror dimulai, dia ditunjuk sebagai Kepala Instruktur (Field Engineering) Perakitan Bom Jama’ah Islamiyah Wakalah Jawa Timur. Tahun 2000 Ali keluar dari JI, dan bergabung dengan Kompak (Komite Penanggulangan Krisis).
“Pernah melatih pembuatan bom disekitar Gunung Lawu, Wilis dan lainnya, wilayahnya Madiun, Ponorogo, Pacitan dan lain lain,” jelasnya.
Di Kompak ia menjadi Kepala Instruktur Pelatihan Militer Milisi Ambon dan Poso juga melatih milisi Jawa, Sulawesi, Kalimantan,Sumatera bahkan dari Malaysia dan Singapura.
“Tahun 2002 saya berangkat ke Mindanao mendirikan camp pelatihan militer bersama Abdul Matin, Omar Patek, Marwan Malaysia, Mu’awiyah Singapura dan lainnya. Tapi sepandai-pandainya tupai melompat jatuh juga. Saya tertangkap tahun 2004 oleh PNP (Polis Nasional Philipina) menjalani kehidupan di penjara,” ujar pria mengaku punya banyak nama itu.
Sejak tertangkap, ia harus menjalani kerasnya kehidupan penjara hingga tahun 2006 di pulangkan ke Indonesia dalam keadaan sakit. Ia dirawat di rumah sakit Jakarta oleh Satgas Bom Mabes Polri.
“Selama di penjara, terjadi pergolakkan batin pada diri saya. Saya tidak menyangka, dalam kondisi kemarahan rakyat padanya, masih diperlakukan manusiawi, terutama oleh kepolisian,” ucapnya yang berpikir bakalan disiksa selama di penjara.
Selama dalam pembinaan dan pengawasan Mabes Polri, dia pun mulai menyadari kesalahanya dan bertaubat. Keputusan itu disambut baik oleh pihak kepolisian. Saat ini dia bekerja sama dengan kepolisian untuk mengatasi permasalahan terkait kasus teroris.
“Saya dibiayai oleh kepolisian untuk lanjut sekolah S2 Magister Studi Islam UMS Surabaya. Ketika ada bom meledak, saya tidak bisa tidur. Sebab dihubungi berbagai pihak, baik kepolisian maupun media massa untuk ditanyai pendapat saya tentang motif pengeboman, bom apa yang yang digunakan dan sebagainya,” ceritanya.
Sejak tahun 2009 dia menjadi peneliti bom dan teroris, saat ini Ali aktif menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi, mengajar tentang sekte-sekte agama. Menjadi aktivis perdamaian bersama Google Ideas SAVE.
“Dibantu google, saya sempat bertemu dengan korban pemboman saya lakukan. Saya sedih sekali, dua jam saya menangis. Saya temui itu kulitnya kasar, wajahnya tidak sempurna akibat luka bakar dari pemboman itu,” kenangnya.
Ali mengatakan, saat ini teroris semakin meningkat. Tahun 2010-2014 sekitar 110 kasus terorisme. Modusnya bermacam-macam. Ada pemboman, penembakan anggota polisi, pembakaran, racun hingga perampokan menjadi penting sebagai sumber dana.
“Dulu belajar di luar negeri kini cukup di dalam negeri, dulu bom mobil sekarang bom pipa. Kenapa? Karena mereka tidak mampu merakit bom dalam skala besar. Merakit bom pipa saja celaka, apalagi bom mobil,” jelasnya. Menyinggung soal isu terkait ISIS, tahun 2013 Wildan Mukhollad asal Lamongan melakukan aksi bom bunuh diri truk di Iraq. Di tahun yang sama Reza Fardi pemuda asal Kalimantan Barat tewas dalam satu pertempuran di wilayah Syria.
Para terorisme memiliki keahlian dalam kamuflase atau penyamaran. Modus operandinya tidak tunggal tetapi beragam.
“Bergantung dari komunita didekatinya. Kalau komunitas itu pedagang furniture, maka dia tidak segan segan untuk berdagang furniture. Kalau komunitas itu pedagang bakso, mereka juga tidak segan-segan ikut berdagang bakso,” ujarnya.(ab/kanalponorogo)