Ritual Budaya Keduk Beji Tawun, Ngawi
KANALNGAWI-Warga Desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, gelar ritual budaya Keduk Beji. Disela-sela upacara ritual tahunan kali ini juga disuguhkan drama kolosal bertemakan ‘Berdirinya Sendang Tawun’ yang dikemas kedalam budaya ketoprak yang dibawakan Sanggar Budaya Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda dan Olahraga (Disparyapura) Kabupaten Ngawi, Selasa (10/05/2016).
“Konsep budaya Keduk Beji yang digelar sekarang ini memang jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk sekarang memang kita masukan konsep entertainment berupa drama kolosal bentuk ketoprakan yang didalamnya ada cerita tentang Eyang Ludro Joyo yang tidak lain tokoh dari babatnya Tawun sini,” terang Tri Joko Suwito tokoh seniman sekaligus pelestari budaya dari Kecamatan Kasreman.
Tri Joko yang biasa disapa Biyung Cangik ini menjelaskan, kemasan yang artistic dari budaya Keduk Beji sengaja disajikan untuk menyambut Visit Ngawi Years 2017 atau tahun kunjungan wisata yang digadang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngawi. Namun, sajian drama kolosal tersebut tidak mengurangi dari intisari maupun khas budaya Keduk Beji yang original.
“Tentunya sajian itu tanpa mengurangi dari makna Keduk Beji itu sendiri. Karena apa semua yang dilakukan ini punya harapan untuk kedepanya antara lain untuk lebih menghidupkan satu budaya yang mulai luntur karena zaman. Selain itu diharapkan mampu menyedot animo masyarakat baik dari Ngawi sendiri maupun luar daerah agar Keduk Beji memberikan ciri khas dari khasanah budaya di Kabupaten Ngawi,” beber Biyung Cangik.
Sementara terkait Keduk Beji menurut Supomo tokoh masyarakat Desa Tawun menjelaskan, tradisi Keduk Beji selalu digelar pada hari Selasa Kliwon atau yang biasa digelar setiap masa panen raya selesai. Ritual itu digelar sebagai sarana penghormatan kepada Eyang Ludro Joyo atas sumber penghidupan Keduk Beji.
Prosesi upacara adat ini di awali ratusan warga Desa Tawun berkumpul di sumber berukuran 20 x 30 meter. Ritual dimulai dengan melakukan pengerukan atau pembersihan kotoran dengan mengambil sampah dan daun-daun yang mengotori sumber mata air Beji yang berada di Desa Tawun.
Kemudian Supomo selaku sesepuh Desa Tawun selaku juru silep atau juru selam yang sudah dikenal ini mengatakan, upacara Keduk Beji ini, merupakan salah satu cara untuk melestarikan adat budaya penduduk Desa Tawun sejak jaman dulu. Tujuan utamanya adalah mengeduk atau membersihkan Sumber Beji dari kotoran.
Menurutnya, inti dari ritual Keduk Beji terletak pada penyilepan atau penyimpanan kendi yang berisi air legen di pusat sumber air Beji. Pusat sumber tersebut terdapat di dalam gua yang terdapat di dalam sumber Beji sendiri. Ritual ini berawal dari (legenda) warisan Eyang Ludro Joyo yang dulu pernah bertapa di Sumber Beji untuk mencari ketenangan dan kesejahteraan hidup.
“Keduk Beji memang warisan adat istiadat dan budaya warga sini yang diwarsikan secara turun temurun dari dulu hingga sekarang. Dan terkait penyileman kedalam belik (sumber mata air Keduk Beji-red) yang saya lakukan tadi juga turun temurun dari generasi ke genarsi berikutnya,” ungkap Supomo.
Disinggung mengenai Eyang Ludro Joyo beber Supomo, tokoh tersebut dalam masanya melakukan serangkaian ritual yang diakhiri dengan semedi atau bertapa. Setelah melewati waktu ke waktu Eyang Ludro Joyo langsung muksa (menghilangkan diri-red).
Muksanya Eyang Ludro Joyo sangat diyakini oleh warga sebagai bagian untuk menuju ketenangan demi mempersatukan antara manusia dan kelestarian alam. Dan setelahnya tanpa diketahui sebab musabanya muncul mata air atau belik yang dimanfaatkan oleh warga masyarakat Desa Tawun hingga sekarang ini.
Kemudian Bupati Ngawi Budi Sulistyono/Kanang mengakui adanya apresiasai warga masyarakat Desa Tawun yang telah peduli untuk melestarikan Keduk Beji sebagai budaya lokal. Bebernya, saat ini potensi budaya lokal memang dirasakan makin minus dan tergerus budaya global. Adanya Keduk Beji sebagai satu wahana budaya yang harus dikedepankan sebagai bagian identitas daerah. (dik/kanalponorogo.com)