Home / News / Sosial

Rabu, 24 Juni 2015 - 12:55 WIB - Editor : redaksi

Santri Tulen Nusantara Dukung Konsep Ahwa

KANALPONOROGO-Geliat pelaksanaan Muktamar NU ke-33 semakin mengemuka. Perdebatan konsep pemilihan Rais ‘Aam dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang Agustus mendatang juga kian memanas.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sedang merumuskan sistim baru pemilihan Rais Aam (Syuriyah) PBNU yang dikenal dengan Ahlul Halli Wal Aqdi (sering disingkat Ahwa).

Ketua umum PBNU KH Prof Dr Said Aqil Siroj dalam sambutannya mendukung penuh sistim pemilihan Rais ‘Aam dengan model Ahlul Halli Wal Aqdi. “Sebab, kalau pilihan langsung, dikesankan mengadu kekuatan antar kiai dan karena itu dicarikan jalan musyawarah yang lebih tepat seperti Ahlul Halli Wal Aqdi. Selain itu, sistim pemilihan langsung ditakutkan akan melahirkan kubu-kubuan, kampanye hitam (black campaign), dan saling menjatuhkan,”ungkap Said.

Forum Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Senin, (15/6) juga menyepakati Rais ‘Aam PBNU dipilih secara musyawarah untuk mufakat oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Sistem ini dianggap paling cocok dan paling moderat untuk menentukan Rais ‘Aam.

Baca Juga :  Baliho ‘Ponorogo Banget’ Lenyap

Sementara itu, Deni Mahmud Fauzi Ketua Santri Tulen NUsantara mendukung hasil Munas alim ulama sebagai intruksi mengamankan kepentingan warga nahdliyin dari upaya pecah belah.

“Jika NU masih tetap mempertahankan sistem pemilihan langsung, NU tak ubahnya dengan partai politik. Warga Nahdliyin akan terus beranggapan bahwa suksesi pimpinan tertinggi di NU sama saja dengan di partai politik, tergantung mana yang kuat uangnya, “ucapnya.

Selain itu, masih menurut Deni Mahmud, “Ahwa memang sangat kontekstual jika melihat kondisi dan situasi politik kebangsaan hari ini. Tidak hanya itu, konsepsi Ahwa sebenarnya sudah menjadi tradisi bangsa ini yakni musyawarah untuk mufakat, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Kami malah khawatir jika NU tetap saja menggunakan pemilihan langsung, maka banyak kepentingan politik yang akan menunggangi,”urainya.

Baca Juga :  Adi Candra Utama : Pembelaan Pengacara Lokal Tidak Berpengaruh Hasil Peradilan di Malaysia

Dalam lembar sejarah, NU pernah menggunakan model Ahwa dalam pemilihan Rais ‘Aam Syuriyah PBNU, pada muktamar ke 27 di Situbondo (3-12 Desember 1984).

Penggunaan sistim Ahwa ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Yang paling mengemuka adalah pertimbangan penyelamatan NU dari kepentingan dalam upaya melanggengkan kekuasaan Orde Baru.

Sepeninggal Rais Aam PBNU KH. Bisri Syansuri (25/4/1980), NU terbelah menjadi dua kubu; kubu politik yang bermuara kepada Ketua Umum PBNU KH. DR. Idham Cholid (Cipete) dan kubu Khitthah yang dijaga ketat KH.R. As’ad Syamsul Arifin Situbondo yang didukung kelompok muda pembaharu di NU seperti Gus Dur.

Perlu diketahui juga, dalam Muktamar ke-27 tersebut terpilihlah KH. Achmad Shiddiq sebagai Rais ‘Aam Syuriah, lalu menunjuk Gus Dur sebagai ketua umum PBNU.(K-5)

 

Share :

Baca Juga

Nasional

Petinggi TNI dan Kapolri Sapa Penyelam di Pantai Manado

Headline

Kasus Pungli Sawoo, Kejari Ponorogo Terima LHP dari Inspektorat

Peristiwa

PDAM di Desa Panjeng Seminggu Tak Mengalir

News

Lokalisasi Kedung Banteng Ditutup Bulan Juni

News

Penemu Uang Kuno Mendapat Firasat Mimpi

News

Warga Pulung, Korban Laka Tewas Tanpa Pertolongan

News

Ipong-Sujarno Serahkan Berkas Perbaikan di Hari Pertama

Nasional

Tujuh Eks Gafatar Asal Ponorogo Dijemput