Monumen Reog, Kemegahan yang Menantang Badai di Lereng Bukit Kapur Ponorogo
SAMPUNG, KANALPONOROGO.COM: Di lereng perbukitan nan menawan Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, sebuah visi kolosal kini tengah mewujud nyata. Inilah Monumen Reog dan Museum Peradaban, sebuah mahakarya arsitektur yang menjulang gagah, seolah tangan raksasa sedang mengukir penanda kebesaran budaya tepat di ambang cakrawala. Proyek ambisius ini dirancang bukan hanya sebagai tugu peringatan, tetapi sebagai mercusuar yang akan memancarkan cahaya peradaban dan menjadi magnet pariwisata yang tak tertandingi di Nusantara.
Namun, kisah di balik pendiriannya jauh dari kata mulus. Narasi pembangunannya terasa ibarat sebuah pertunjukan tari Warok: megah dan mempesona di panggung utama, tetapi didera badai isu yang berputar kencang, menuntut perhatian publik.
Sebuah ironi yang menyentak. Proyek yang belum sepenuhnya rampung ini justru menjadi headline nasional, bukan hanya karena kemegahannya yang mengundang decak kagum, tetapi karena deru penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isu tak sedap ini sempat mengancam, seolah ingin meredam kobaran semangat pembangunan.
Namun, di luar nalar dan perkiraan, gejolak negatif tersebut sama sekali tidak mempan. Bukannya meredup, magnet monumen ini justru memanas, bak bara api yang disiram minyak!
Pantauan lapangan pada Minggu (16/11/2025) menjadi saksi bisu fenomena ini. Pemandangan yang tersaji benar-benar memukau: lautan pengunjung membludak, tumpah ruah laksana air bah yang menemukan jalannya menuju muara, seakan menafikan semua riuh rendah isu yang ada.
Sang penulis, seorang pengelana berita yang menunggang kuda besi sederhana, sudah merasakan getaran magnetisme ini jauh sebelum tiba. Ketika roda sepeda motornya merapat ke kaki Monumen, pemandangan yang menyambutnya adalah simfoni keramaian yang epik.
Di hadapan ‘Gerbang Peradaban’, deretan motor dan mobil telah menjelma menjadi ular besi yang merayap perlahan, berjuang mendapatkan ruang parkir. Kaki Monumen dipenuhi lautan manusia dari segala penjuru: bocah-bocah kecil tertawa riang, wanita dan pria dewasa berjalan santai, hingga serombongan pengunjung yang diangkut ‘kereta kelinci’ berwarna ceria. Ini adalah pemandangan yang menyiratkan antusiasme kolektif yang mendalam.
Penulis mencoba menyelami arus keramaian. Langkah kakinya menyusuri labirin area parkir yang padat dan stan-stan UMKM yang berjejer, sebuah bukti nyata dari denyut ekonomi yang tiba-tiba berdetak kencang. Senyum dan sapaan datang dari setiap penjuru. Ketika ia bertanya, terkuaklah fakta menawan: mereka bukan hanya warga lokal Ponorogo. Mereka adalah duta-duta dari kota-kota lain yang berduyun-duyun datang, seolah memberikan suara dukungan tak terucapkan melalui kehadiran fisik mereka.
Di tengah riuhnya gejolak keramaian, penulis memilih berlabuh sejenak, mencari tempat berteduh di salah satu warung pedagang yang menjanjikan hidangan klasik Ponorogo: nasi pecel dan kopi yang melegenda. Namun, bahkan tempat peristirahatan kecil ini pun tak luput dari badai permintaan.
“Maaf, Mas, nasi sudah habis, harus menunggu,” ujar penjual dengan wajah kelelahan yang memancarkan kepuasan.
Penulis, terkejut oleh kecepatan putaran ekonomi di venue ini, bertanya, “Apa tidak ditambah dari hari-hari biasa?”
Jawaban sang penjual terdengar laksana pengakuan puitis dari medan pertempuran: ”Sudah, sudah lho, Mas! Sudah ditambah!” tuturnya, menggarisbawahi betapa tak terduganya lonjakan kunjungan ini, yang melampaui segala persiapan.
Maka, hanya secangkir kopi hitam yang dapat dipesan. Disajikan dalam cangkir khas, kopi yang pekat, hitam, dan jujur itu melambangkan semangat sejati warung-warung kopi di Ponorogo.
Sembari menyesap pahitnya kopi dan gurihnya gorengan, mata penulis menangkap panorama pengunjung yang tak henti berlalu lalang. Pembeli datang silih berganti. Dan keajaiban itu terulang beberapa saat kemudian. Ketika seorang pengunjung lain memesan kopi, ia hanya mendengar jawaban singkat dari penjual, “Kopinya habis!”
Bahkan kopi, minuman yang konon tak pernah lekang pun tak sanggup mengimbangi dahsyatnya hasrat keramaian di Monumen ini! Pemandangan ini adalah bukti tak terbantahkan, sebuah testimoni yang jauh lebih jujur dari segala press release dan laporan resmi. Ini menunjukkan bahwa geliat ekonomi rakyat di lereng Monumen ini sungguh tak tertahankan, sebuah denyut nadi yang berdetak jauh lebih kencang daripada isu manapun yang mencoba meredamnya.
Meskipun di bawah sorotan tajam dan intaian hukum, komitmen untuk menyelesaikan ikon ini tetap membara. Denyut nadi pembangunan tak lantas terhenti. Proyek tetap bergerak maju, dibuktikan dengan pemasangan paving block untuk area parkir yang kian dimantapkan. Ini adalah isyarat tegas bahwa badai hanya memperlambat, tetapi tidak menghentikan.
Namun, dampak paling signifikan terasa di sektor riil. Perekonomian rakyat kini berdetak kencang di kaki Monumen Reog. Deretan pedagang kian menjamur, dari penjual suvenir hingga penjaja kuliner khas.
“Jujur, kami warga sekitar sudah merasakan manfaatnya. Ini bisa menambah penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk menyekolahkan anak-anak,” ucap salah satu pedagang tempat penulis berteduh, membagikan harapan tulus.
Bagi mereka, monumen ini adalah jembatan menuju kesejahteraan yang telah lama dinantikan. Monumen ini telah menjelma menjadi daya tarik wisata tiada tara, memanggil pelancong dari lokal hingga penjuru kota. Bagi pengunjung, isu yang mendera hanyalah riuh angin lalu yang tak perlu dihiraukan. Fokus utama mereka adalah keindahan dan potensi yang luar biasa dari mahakarya ini.
Optimisme ini disuarakan lantang oleh Toni, seorang pengunjung asal Balong. “Eman (sayang) sekali kalau pembangunan ini sampai berhenti. Ini akan menjadi maskot dan ikon abadi untuk Ponorogo,” tegasnya.
Di tengah isu yang menguji, Monumen Reog dan Museum Peradaban di Sampung bukan sekadar tumpukan beton di lereng bukit. Ia adalah monumen harapan, simbol peradaban, dan bara api pendorong ekonomi rakyat yang tak boleh dibiarkan padam. Ia berdiri tegak, menantang badai, dan terus memanggil jutaan pasang mata untuk menyaksikan kemegahan budaya Ponorogo yang tak lekang dimakan zaman. (Tim)














